Hidup itu Proses



Life is Never-Ending Learning Process
Mungkin kalimat itu yang menurut saya pas untuk menggambarkan dinamika kehidupan kita sehari-hari. Ya, life is never-ending learning process. Hidup ini tak lain adalah proses pembelajaran yang terus menerus berlangsung sampai kita mati. Sampai kita mati, kita sebetulnya adalah pembelajar. Pengertian pembelajaran di sini adalah kemampuan kita untuk terus menginisiasi dan merealisasikan perubahan ke arah yang lebih baik dari kenyataan yang kita hadapi hari ini. Termasuk juga ucapan saya bahwa hidup ini haruslah moving forward in balance and harmony. Ini pun sebetulnya bukan hasil, tetapi proses pembelajaran. Tidak ada orang yang langkah hidupnya maju terus, seimbang terus, atau harmoni terus. Mustahil itu terjadi sebagai hasil. Itu semua terjadi sebagai proses. Demikian juga soal keberuntungan dan ketidakberuntungan kita. Maksud saya, baik keberuntungan atau ketidakberuntungan itu bukanlah takdir kita yang final. Itu bukan hasil akhir dari dinamika kita. Itu adalah siklus yang terus aktif bergerak dari titik kesementaraan ke titik lain yang juga sementara. Bahkan oleh agama kita diajari untuk melihat dunia dan seisinya ini sebagai kesementaraan atau nisbi. Akhiratlah yang abadi dan tidak nisbi. Kita dilarang putus asa atau melihat kenyataan buruk sebagai takdir yang final. Kita perlu melihatnya sebagai kesementaraan atau lebih kepada learning process. Salah satu proses pembelajaran yang diajarkan agama adalah mensyukuri ketika mendapatkan nikmat dan sabar ketika mendapatkan musibah. Sabar di sini berbeda dengan diam atau bertahan. Inti dari sabar adalah berjuang untuk mendapatkan kebaikan yang kita inginkan atau terhindar dari keburukan. Bentuk dari perjuangannya bermacam-macam, misalnya kita menunggu hasil akhir dari perjuangan kita, bertahan dengan terus menerus berjuang. Sabar adalah sumber keberuntungan. Bahkan Al-Quran menjelaskan watak kita dalam menyikapi kenyataan lalu menegaskan bahwa sabar dan amal saleh sebagai kata kuncinya. Dalam Surah Hud ayat 9-11: Dan Sesungguhnya jika Kami undurkan azab dari mereka sampai satu waktu yang ditentukan. niscaya mereka akan berkata: "Apakah yang menghalanginya?" Ingatlah, waktu azab itu datang kepada mereka tidaklah dapat dipalingkan dari mereka dan mereka diliputi oleh azab yang dahulunya mereka selalu memperolok-olokkannya. Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah Dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya Dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu dariku"; Sesungguhnya Dia sangat gembira lagi bangga, kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar. Kalau dikaitkan dengan temuan keilmuan modern, sabar dan syukur adalah indikasi kunci dari kecerdasan, baik spiritual, emosional atau intelektual. Jika membaca penjelasan para ahli soal kecerdasan ini, salah satu karakteristik yang kecerdasannya tinggi adalah kemampuannya dalam memberdayakan penderitaan. Maksud dari memberdayakan penderitaan adalah bagaimana penderitaan itu bisa memperbaiki diri kita lalu dari sini hidup kita berubah menjadi lebih baik. Orang-orang tua kerap mengatakan, kalau kita mendapatkan untung dari yang enak itu biasa. Yang luar biasa adalah mengambil untung dalam persikapan positif dari penderitaan kita. Tapi, tidak berarti yang disebut orang beruntung itu orang yang tidak punya kelemahan, keburukan, dan masalah. Selama sebagai manusia dan selama hidup di dunia, ini harus ada. Cuma, semua itu membuat orang yang cerdas menjadi semakin beruntung. Agar kita mau giat belajar, syaratnya menurut saya adalah memiliki cita-cita atau idealisme tentang perubahan. Mustahil kita akan belajar dari kehidupan kita jika idealisasi mengenai perubahan tidak muncul. Ketika saya diamanati untuk memimpin sebuah perusahaan, yang ada di kepala saya saat itu adalah idealisasi perubahan. Saya membayangkan bahwa dengan kepemimpinan saya ini harus terjadi perubahan tertentu. Setidaknya, perubahan itu dimulai dari diri saya sendiri. Leo Tolstoy pernah mengatakan, “Semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tapi tak satu pun berpikir untuk mengubah dirinya sendiri.” Memang, dalam prakteknya, idealisasi tentang perubahan sendiri belum tentu menghasilkan perubahan. Tapi, semua perubahan itu saya pikir harus diawali dari idealisasi lebih dulu, meskipun idealisasi saja tidak cukup. Setelah muncul idealisasi, harus diimbangi dengan komitmen untuk membekali diri dengan keahlian yang dibutuhkan oleh perubahan yang kita inginkan itu. Semua perubahan yang kita inginkan menuntut adanya keahlian spesifik. Keahlian ini bisa dibedakan menjadi dua, yaitu keahlian mental dan keahlian kerja. Ada keahlian mental dan kerja yang sifatnya generally applicable (umum) dan ada yang sifatnya khusus. Agar perubahan terjadi, kita perlu menemukan keahlian yang cocok untuk kita. Ilmu yang paling bagus adalah ilmu yang bermanfaat, bukan begitu? Sekedar gambaran, misalnya studi manajemen menyimpulkan bahwa keahlian yang dibutuhkan oleh seorang direktur itu antara lain: Perencanaan (planning), yaitu memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak dapat berjalan. Pengorganisasian (organizing), yaitu membagi satu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, pada tingkatan mana keputusan harus diambil. Pengarahan (directing) yaitu mengusahakan agar semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan manajerial dan usaha. Keahlian saja terkadang kurang sinkron dengan hasil. Tidak sedikit orang yang sebetulnya menguasai berbagai keahlian di bidangnya tetapi untuk urusan hasil masih sangat minim. Kenapa ini bisa terjadi? Salah satu jawabannya adalah target. Dengan proses belajar yang kita jalani, kita harus punya target yang riil sebagai indikator adanya perubahan atau perbaikan. Tanpa target ini, bisa-bisa waktu dan tenaga kita hanya terkuras untuk melintasi proses belajar yang kurang banyak menghasilkan sesuatu. Kalau saya menyimpulkan penjelasan Prof. Quraisy Shihab mengenai takdir, ternyata tidak semua takdir itu sifatnya konstan atau permanen. Malah takdir yang ini jumlahnya sedikit, misalnya takdirnya matahari itu harus terbit dari timur, takdirnya es itu dingin, takdirnya semua orang itu akan mati. Dipikir-pikir sangat sedikit jumlah takdir yang permanen itu. Sisanya adalah takdir yang relatif atau takdir yang berubah sesuai keadaan, misalnya kalau orang itu berusaha untuk efektif dan efisien dalam hal keuangan, maka orang itu akan berkecukupan atau kaya. Terkait dengan bahasan kita ini proses pembelajaran menjadi kata kunci untuk menyikapi berbagai takdir yang sifatnya relatif tadi. Kita bisa membangun keberuntungan dari ketidakberuntungan yang kita rasakan. Dari semua pelajaran hidup, karir, usaha ini, bagi saya yang paling berat dan repot adalah manakala berurusan dengan politik, kekuasaan dan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar